Thursday, December 05, 2013
2
Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin.

Persidangan perkara makar dengan terdakwa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Kamis 8 Juli 2003 lalu, berbeda dari biasanya. Pasalnya, pada persidangan itu Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi ahli, Prof. Loebby Loekman. Kepadanya, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menanyakan dua hal, yang kedua-duanya tidak mendapat jawaban pasti. Pertanyaan itu sangat cerdas, sehingga membuat kita tercenung mendengarnya. 

Pertanyaan pertama, menyangkut pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Nah, sebagai ahli hukum, dapatkah Profesor menjelaskan apa definisi ibadah menurut UUD 1945? Kedua, apabila pemerintah tidak menjamin kemerdekaan dan kebebasan beribadah menurut kepercayaan agama, yang berarti melanggar pasal 29 ayat 2 itu, apakah pemerintah tersebut dapat dituntut?

Dengan alasan dirinya bukan ahli agama, Prof. Loebby Loekman menyatakan, pertanyaan tersebut tidak dapat dijawabnya. Karena itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir pun menjelaskan, bahwa definisi ibadah menurut Islam adalah,”Segala ucapan dan perbuatan yang diridhai Allah”. Maka, menerapkan syari’at Islam secara kaffah (lengkap dan menyeluruh, tidak sepenggal-sepenggal) merupakan cara beribadah yang paling sempurna.

Apabila kita mengartikan ibadah menggunakan pengertian di atas, maka kedua pertanyaan tadi berimplikasi sangat luas, baik dalam perspektif syari’ah Islam maupun undang-undang negara RI. Karena faktanya selama ini, setiap kali umat Islam menuntut berlakunya syari’at Islam, pemerintah menilainya sebagai tindakan inkonstitusional. menentang Pancasila, bahkan dianggap makar kepada pemerintah yang sah. Padahal, menghalangi warga negara beragama Islam untuk melaksanakan syari’ah Islam, berarti menghambat kebebasan beribadah. Hambatan demikian, tidak saja mengabaikan hak konstitusional umat Islam, tetapi juga melanggar syari’at Islam dan mengkhianati UUD 1945.

Dalam rumusan yang spesifik, syari’at Islam berarti segala ketentuan yang datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya untuk mengatur kehidupan manusia dalam segala aspeknya: akidah, akhlak, maupun pergaulan sosial (mu’amalah). Karena itu, syari’at Islam tidak saja mengatur pelaksanaan dari kewajiban itu. Tetapi juga, mengatur sanksi hukum bagi mereka yang terbukti melanggar larangan dan mengabaikan perintah Allah SWT.Segala ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi fungsi syari’at Islam secara luas. Yakni, menjamin kemerdekaan orang untuk beragama (hifdzud din), melindungi akal dari pengaruh yang merusak fungsi akal dalam kehidupan manusia (hifdzul ‘aql), menjamin kesucian keturunan, sehingga tidak ada kesangsian mengenai nasab seseorang dengan orang tuanya (hifdzun nasl), mengayomi dan menjamin keselamatan hidup manusia (hifdzun nafs), serta menjamin dan melindungi hak kebendaan manusia, baik sebagai hak pribadi maupun hak bersama (hifdzul mal),

Salah satu makna hifdzud din (menjamin kemerdekaan orang untuk beragama) adalah, di dalam sebuah negara yang menerapkan syari’at Islam, warga negara yang tidak beriman kepada Allah dan Muhammad Rasulullah saw, kepada mereka dibebaskan (diberi kemerdekaan) untuk memeluk dan menjalankan ibadat sesuai dengan ketentuan agama yang dipercayainya itu. Harta, nyawa, dan rumah ibadah mereka dijamin keselamatannya oleh negara. Hidup mereka terlindungi, hak-hak politik dan sosial mereka dipenuhi sebagaimana warga lainnya.

Artinya, bagi seseorang yang paham betul apa itu syari’at Islam seperti Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, amat mustahil baginya merestui, apalagi sampai memerintahkan untuk meledakkan gereja, membunuh wanita (Megawati), tanpa alasan yang dibenarkan oleh Islam. Tuduhan-tuduhan itu layaknya lahir dari seseorang atau sekelompok orang yang mengidap depresi politis dan ideologis.

Arah tuduhan ini semakin jelas, yaitu menjerat Abu Bakar Ba’asyir sebagai pelaku makar, menggunakan kelompok JI yang dikonotasikan jaringan teroris internasional. Selain untuk menjaring aktivis Islam, stigmatisasi JI juga digunakan untuk kepentingan Zionis dan Salibis, yaitu menekan pemerintah supaya mempertegas pemisahan agama dengan negara.

JI Versi Siapa
Apabila Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mau dikait-kaitkan dengan Jama’ah Islamiyah (JI), maka patut dipertanyakan, JI yang mana dan versi siapa? Dalam perbendaharaan politik pemerintah Indonesia, JI ada dua versi.

Pertama, JI versi Jaksa Penuntut Umum (JPU). Istilah JI pertamakali muncul pada persidangan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir di PN Sukoharjo, 1982, berasal dari tuduhan Jaksa Penuntut Umum, Roedjito. Baik Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba’asyir sejauh ini belum pernah menggunakan istilah JI. Pada persidangan tahun 1982 itu, selain istilah JI juga muncul dua istilah lainnya, yaitu Jama’ah Ansharullah dan Mujahidin.

Oleh karena itu, JI versi JPU yang dituduhkan kepada Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir adalah suatu sistem atau metodologi yang dikembangkan oleh komunitas Islam dalam memperjuangkan berlakunya syari’at Islam. Sebagai sebuah sistem atau metodologi, ia bisa ditemukan pada ormas atau partai Islam manapun. Jl dalam pengertian ini, tidak lebih dari sebuah kelompok pengajian biasa (bukan ormas atau bentuk kelembagaan lainnya), yang di Malaysia dikenal dengan pengajian As-Sunnah. Tema pengajiannya berkisar pada perlunya umat Islam kembali kepada syari’at Islam, sebagai penyempurnaan tauhid kepada Allah SWT.

Selama tujuh belas tahun, sejak 1982-1999, tidak pernah ada tuduhan yang mengaitkan istilah JI dengan serangkaian tindakan teror, apalagi mengkaitkannya dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Bahkan selama 13 tahun berdakwah di Malaysia (1986-1999), PM Mahathir Mohammad tidak pernah mempersoalkan keberadaan mereka di negeri tersebut.

Demikian pula pasca wafatnya Abdullah Sungkar, 1999, yang konon kedudukannya sebagai Amir JI dilimpahkan kepada Abu Bakar Ba’asyir. Sejak tahun 1999, Abu Bakar Ba’asyir kembali ke habitat asalnya sebagai guru di pesantren Ngruki, tidak pernah ada tuduhan serupa. Pada Agustus 2000 beliau diangkat sebagai Amir Majelis Mujahidin melalui Kongres Mujahidin 2000 di Yogyakarta.

Versi kedua, adalah JI versi Amerika dan PBB. Mencuatnya istilah JI dengan konotasi teroris, terjadi pasca-tragedi meledaknya WTC dan Gedung Pentagon, 11 September 2001, bersamaan dengan dimunculkannya nama Usamah bin Ladin, pimpinan al-Qaidah yang dikategorikan oleh Amerika sebagai institusi teroris internasional.

Artinya, bila memang aparat berwenang menemukan indikasi keterlibatan JI dengan serangkaian aksi teror di tanah air, maka pastilah JI yang dimaksud bukan JI versi JPU yang dituduhkan kepada Abdullah Sungkar dan Ba’asyir. Menuduh Abu Bakar Ba’asyir sebagai pimpinan JI versi Amerika, bukan saja tidak relevan, tetapi juga bertolak belakang dnegan keterangan saksi Imam Samudera, Mukhlas, Ali Imran, dan Amrozy, yang kini menjadi tersangka peristiwa bom Bali. Semuanya menyangkal keras tentang keterkaitan antara kasus mereka dengan Abu Bakar Ba’asyir.

Selain dituduh terlibat aksi teror, Ba’asyir juga dituduh terlibat perbuatan makar membunuh Megawati. Tuduhan ini menarik, karena tahun 1950-an pada peristiwa Cikini, yaitu sebuah peristiwa yang dikategorikan sebagai percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno (ayahanda Presiden Megawati), yang dijadikan kambing hitam pelaku percobaan pembunuhan kala itu adalah kelompok DI/TII dan Masyumi. Nampaknya ada pengulangan sejarah, khususnya yang berkenaan dengan menentukan kambing hitam.

Sampai sekarang tuduhan terhadap DI/TII dan Masyumi sebagai dalang aksi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno itu tidak terbukti. Bahkan ada yang menduga, aksi itu dirancang intelijen Amerika Serikat CIA, karena negeri Paman Sam itu khawatir kedekatan Soekarno terhadap Komunis.

Stigmatisasi JI tanpa parameter yang jelas, bisa menyesatkan. Sebab, penangkapan aktivis Islam yang diduga anggota JI oleh polisi, sama artinya mengulang kezaliman Orba yang menggunakan stempel DI (Darul Islam) untuk memberangus gerakan Islam di masa itu.

Karenanya patut dipertanyakan, apabila tuduhan makar membunuh Megawati tidak terbukti, dapatkah Ba’asyir menuntut pemerintah? Mungkinkah rakyat Indonesia untuk “memaksa” pemerintah supaya konsisten menjalankan kebebasan beribadah bagi para pemeluk agama? Jika tidak, maka patutkah negeri ini terus menerus dipimpin oleh suatu rezim, yang tidak saja mengkhianati UUD 1945 pasal 29 ayat 2, tetapi juga, secara sengaja menyingkirkan peranan syari’at Islam dalam membangun Indonesia dengan predikat Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Negara yang sejahtera dan diampuni Allah SWT)?

2 komentar:

  1. terimakasih artikelnya sangat membantu

    ReplyDelete

Udah baca artikel nya? Gimana pendapat kalian? Ayo comment selama masih gratis haha. Jangan jadi silent reader bro :)